.

Kamis, 06 Desember 2012

PGRI: SBY Telah Lakukan Revolusi Terbesar Pengelolaan Guru


BOGOR, Jaringnews.com - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengapresiasi SBY yang selalu hadir di perayaan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI selama lima tahun belakangan. Itu membuktikan SBY memperhatikan guru dan pendidikan Indonesia.
Ketua Umum PGRI Sulistyo mengatakan, HUT PGRI dan Hari Guru tahun ini lebih spesial. Pasalnya, mulai tahun ini Indonesia dan PGRI mulai serius mendorong seluruh guru Indonesia dengan profesional, serta meningkatkan kompetensi dan kode etik. Maka itu perayaan tahun ini diyakini tak akan dilewatkan guru-guru se-Indonesia.

"Saat ini, para guru dengan sabar menunggu di depan layar TV untuk mengikuti siaran langsung, sambil berharap ada hadiah istimewa dari Bapak Presiden dalam Hari Guru Nasional dan HUT PGRI tahun ini," kata Sulistyo di peringatan HUT PGRI dan HGN 2012 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Selasa (4/12).

Sulistyo menambahkan, SBY telah mencatat revolusi terbesar dalam pengelolaan guru. Sebab di masa pemimpinan SBY, UU Guru disahkan pada tahun 2005. Pada UU itu, guru diacatat sebagai profesi. Dengan begitu kesejahteraan dan profesionalisme guru bisa meningkat.

"Undang-undang Guru telah melalui proses yang panjang dalam tiga presiden sebelumnya. Disahkan pada akhir 2005, saat pemerintahan Bapak Presiden SBY. Itu adalah revolusi terbesar dalam pengelolaan guru," kata Sulistyo.

Kata Sulistyo juga, pemerintah telah begitu menunjukkan perhatiannya kepada guru. Dengan menetapkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.

"Kami juga tengah mengusulkan agar profesionalitas dan peningkatan kualitas guru, mulai dari rekuitmen, penempatan, pembinaan karier profesi hingga renumerasi yang terintegrasi, sehingga penetapan gaji minimal seorang guru dipertimbangkan pula sebagai standar untuk guru swasta dan guru honorer," jelas Sulistyo.

SBY: Jangan Bawa Guru ke Arena Politik

VIVAnews - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merespons laporan Ketua Umum Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistyo mengenai maraknya tenaga pendidik di berbagai daerah yang menjadi korban politik pasca penyelenggaraan pilkada. Ke depan, hal itu tidak boleh terjadi lagi di daerah mana pun.

"Pemimpin-pemimpin yang ikut Pilkada, jangan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya. Tidak boleh membawa guru di arena politik. Birokrat harus netral dan independen," kata Presiden SBY dalam acara puncak peringatan Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun PGRI ke-67 di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Selasa 4 Desember 2012.

SBY mengatakan para guru dan dosen memiliki hak politik masing-masing dan tidak boleh diintervensi. "Jangan campuradukkan orang per orang menyangkut negara, pemerintah dan profesi yang harus bebas dari kepentingan politik praktis," ujarnya.

SBY pun menuturkan Mendagri telah membuat aturan berpolitik bagi para tenaga pendidik. "Agar guru jangan bingung dan terombang-ambing, kemudian menjadi korban atas Pilkada di negeri ini," tuturnya.

Sebelumnya, selain meminta agar Presiden SBY memperhatikan kesejahteraan para guru di Indonesia, Ketua UmumPB PGRI Sulistyo juga melaporkan bahwa masih banyak guru yang terkena dampak politik pasca Pilkada di sejumlah daerah.

"Karena itu banyak yang merasa tertekan. Pemerintah semoga berpijak pada kepentingan guru," ujarnya. (umi)

PGRI Minta SBY Perhatikan Kesejahteraan Guru

VIVAnews - Sebanyak 9 ribu guru dan dosen menghadiri acara puncak peringatan Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun PGRI ke-67 di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Selasa, 4 Desember 2012.

Dalam acara tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistyo mengatakan saat ini PGRI mengelola lebih dari 3 juta guru di seluruh Indonesia. Sebanyak 2,1 juta diantaranya telah memenuhi kualifikasi S1 dan D4 sesuai syarat yang ditetapkan oleh pemerintah. Pendidikan yang baik disokong oleh guru yang bermutu.

"Para guru sedang bekerja keras untuk meningkatkan profesionalismenya," kata Sulistyo di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Meski begitu, menurut Sulistyo, masalah kesejahteraan guru perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. "Masih terdapat kekurangan guru PNS, dan guru honorer, kesejahteraannya masih perlu ditingkatkan," ujarnya.

Di beberapa daerah, lanjut Sulistyo,  masih banyak guru yang terkena dampak politik pasca Pilkada. "Karena itu banyak yang merasa tertekan. Semoga Pemerintah berpijak pada kepentingan guru," ujarnya.

Kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan guru ini, menurut Sulistyo, sangat diharapkan. "Pada Pemilu yang akan datang, guru memilih pemimpin yang cinta guru," tuturnya disambut tepuk tangan para hadirin.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir didampingi ibu negara Ani Yudhoyono, juga tampak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh serta Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai penyelenggara acara. Turut hadir Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Mensesneg Sudi Silalahi, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono serta sejumlah anggota kabinet lainnya. (eh)

Minggu, 02 Desember 2012

Forum Organisasi

Forum Organisasi




Sesuai Anggaran Rumah Tangga PGRI Pasal 44, forum organisasi yang rutin dilaksanakan oleh pengurus PGRI di seluruh jenjang adalah:


  1. Kongres/Kongres Luar Biasa
  2. Konferensi Kerja Nasional
  3. Konferensi Provinsi / Konferensi Provinsi Luar Biasa
  4. Konferensi Kerja Provinsi
  5. Konferensi kabupaten,Konferensi kota/ Konferensi kabupaten,Konferensi kota Luar Biasa
  6. Konferensi Kerja Kabupaten / Konferensi Kerja Kota
  7. Konferensi cabang,Konferensi cabang khusus/ Konferensi cabang,Konferensi cabang khusus LB
  8. Konferensi kerja cabang/ Konferensi kerja cabangkhusus
  9. Rapat Anggota Ranting (Rapran)
  10. Rapat Pengurus dan Pertemuan Lain

Dewan Kehormatan dan Kode Etik



   DEWAN KEHORMATAN
 DAN
PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA
 BAB I
 KETENTUAN UMUM
 Pasal 1
 Pengertian

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
(1)         Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI yang dibentuk untuk menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan etika profesi guru.

(2)         Peraturan tentang Dewan Kehormatan Guru Indonesia adalah pedoman pokok dalam mengelola Dewan Kehormatan Guru Indonesia, dalam hal penyelenggaraan tugas dan wewenang bimbingan, pengawasan, dan penilaian Kode Etik Guru Indonesia.
(3)         Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
(4)         Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
(5)         Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(6)         Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
(7)         Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru sebagai pedoman sikap perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
(8)         Penanganan dan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia, adalah pedoman pokok dalam penanganan pelanggaran bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya terhadap etika guru yang telah ditetapkan.


BAB II
KEORGANISASIAN
 Pasal 2
Keorganisasian DKGI
Keorganisasian Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman pelaksanaan yang dijabarkan dari Anggaran Dasar (AD) PGRI BAB XVII pasal 30, dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI BAB XXVI pasal 92 tentang Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode Etik profesi, dalam rangka penegakan disiplin etik guru. 


Pasal 3
Tata Cara Pembentukan
(1)         Dewan Kehormatan Guru Indonesia berada di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, yang di bentuk oleh badan pimpinan organisasi PGRI yang bersangkutan.
(2)         Dewan Kehormatan Guru Indonesia tingkat pusat di sebut sebagai DKGI  Pusat, pada tingkat Provinsi di sebut DGKI Provinsi, dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI Kabupaten/Kota.
(3)         Pembentukan DKGI hanya dibenarkan jika di daerah tersebut telah ada pengurus PGRI tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota : yang masing-masing disebut pengurus Provinsi dan Kabupaten/kota.
(4)         pembentukan DKGI pusat dilakukan oleh Konfrensi pusat (Konpus) PGRI, sedangkan pembentukan di  provinsi dan Kabupaten/kota, masing-masing melalui Konfrensi Kerja Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(5)         Untuk kepentingan pertimbangan khusus dalam pengesahan organisasi DKGI  dimaksud dari pengurus besar PGRI sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatas, pengurus PGRI Propinsi dan atau Kabupaten/kota harus mengirimkan informasi tentang :
a.       Data organisasi dan anggota secara lengkap dan menyeluruh.
b.      Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI dimaksud.


Pasal 4
Status
(1)         Status DKGI adalah perangkat kelengkapan organisasi  PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan pengurus PGRI.
(2)         Status DKGI Pusat maupun Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dalam organisasi PGRI adalah sebagai badan otonom, dalam pengertian bahwa segala keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi pengurus PGRI atau badan-badan yang lainnya.
(3)         Untuk menjamin kenetralan sikap dan keputusan yang akan ditetapkan maka penyelenggaraan tugas dan wewenangnya harus dilakukan secara terpisah dari pengelolaan berbagai perangkat kelengkapan organisasi PGRI lainnya.
(4)         pengelolaan tugas dan wewenang DKGI harus terpisah dari tugas dan wewenang Pengurus Besar PGRI dan begitupun selanjutnya sampai ke Provinsi dan atau Kabupaten/Kota.

Pasal 5
Kedudukan
(1)         Kedudukan DKGI pusat berada di tempat kedudukan Pengurus Besar PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2)         Wilayah kerja DKGI adalah wilayah kerja organisasi PGRI yang setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di maksud.
(3)         Apabila pengurus PGRI Provinsi belum terbentuk dan karena itu DKGI belum bisa terbentuk maka tugas kerja daerah tersebut dijabat oleh pengurus daerah PGRI terdekat, begitupun dengan  PGRI Kabupaten/kota.
(4)         Fungsi dan tugas DKGI di tingkat Cabang dan Ranting PGRI menjadi tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota.
(5)         Pelimpahan tugas sebagaimana disebut dalam ayat 3 di atas ditetapkan melaui Surat Keputusan pengurus Besar PGRI khusus untuk PGRI Provinsi, dan dari pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI Kabupaten/kota.

Pasal 6
Susunan Pengurus
(1)         Susunan keanggotaan DKGI terdiri dari unsur Dewan Penasehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan Keahlian Sejenis, dan yang lainnya sesuai dengan keperluan.
(2)         Susunan pengurus DKGI sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 5 anggota dengan jumlah seluruhnya paling banyak 10 orang untuk pusat, dan sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah.
(3)         Susunan anggota DKGI terdiri dari unsur Dewan Pesehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian Sejenis dan yang lainnya yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda baik profesi maupun pengalamannya misalnya pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan dan lainnya.
(4)         Jika diperlukan maka Keanggotaan DKGI bisa saja ditambah sebanyak 3 orang anggota tidak tetap, yang penunjukkannya atas dasar keperluan terhadap keahlian tertentu sesuai dengan kasus atau permasalahan yang ditangani.
(5)         Selama menangani masalah, maka anggota DKGI tidak tetap sebagaimana ayat 4 di atas pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota tetap lainnya.
(6)         Masa jabatan anggota DKGI  tidak tetap segera berakhir apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan berbagai sisi norma dan ketentuan yang ada.

Pasal 7
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
(1)         Ketua DKGI Pusat dipilih melalui Konfrensi Pusat PGRI, dan ketua di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota melalui Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2)         Ketua DKGI terpilih selaku formatur tunggal dan atas dasar masukan dari pengurus PGRI berkewajiban untuk segera menunjuk, mengangkat dan menetapkan sekertaris, bendahara dan anggota secara lengkap.
(3)         Sebelum DKGI menjalankan fungsi dan tugasnya maka ketua DKGI memberitahukan terlebih dahulu kepada pengurus PGRI tentang susunan pengurus secara resmi dan lengkap.
(4)         Penunjukkan, pengangkatan dan pengesahan anggota DKGI tidak tetap dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah dengan pengurus dan konsultasi dengan pengurus PGRI.
(5)         Apabila salah seorang anggota DKGI meninggal dunia atau mengundurkan diri atau karena suatu hal diberhentikan sebagai anggota maka penggantiannya dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah seperti ayat tersebut di atas.
(6)         Pemberhentian terhadap anggota DKGI hanya dilakukan apabila yang bersangkutan dinilai melanggar aturan yang ditentukan dan tidak lagi sesuai dengan syarat-syarat sebagai pengurus atau anggota DKGI.


Pasal 8
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih, diangkat, atau ditunjuk menjadi pengurus atau anggota DKGI adalah guru dan tenaga kependidikan lainnya yang di yakini
(1)         Beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2)         Berjiwa nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
(3)         Memiliki kepribadian yang dapat diterima dan disegani serta memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang cukup tinggi.
(4)         Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi PGRI, peka terhadap perkembangan permasalahan yang muncul di lingkungan kependidikan dan maupun kemasyarakatan.
(5)         Menguasai masalah Kependidikan, guru dan tenaga kependidikan.
(6)         Bersih, jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa.

Pasal 9
Masa Jabatan Pengurus
(1)         Masa jabatan kepengurusan DKGI sama dengan masa jabatan pengurus PGRI yaitu selama 5 tahun.
(2)         Masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu di atas segera berlaku setelah adanya pengesahan secara keorganisasian dari Pengurus Besar PGRI, dan pengesahan kepengurusan dari Pengurus PGRI yang ada pada daerah tersebut.

Pasal 10
 Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi DKGI adalah :
(1)         memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan, pelanggaran disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia Indonesia kepada Badan Pimpinan organisasi yang membentuknya tentang:
a.   pelaksanaan bimbingan, pengawasan, penilaian dalam pelaksanaan disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia;
b.   pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi  di wilayah kewenangannya;
c.    pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh anggota serta saran dan pendapat tentang tindakan yang selayaknya dijatuhkan terhadap pelanggaran kode etik tersebut;
d.   pelaksanaan dan cara penegakan disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia; dan,
e.   pembinaan hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan serta pelanggaran disiplin organisasi serta Kode Etik Guru;
(2)         pelaksanaan tugas bimbingan, pembinaan, penegakan disipin, hubungan dan pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di atas dilakukan bersama pengurus PGRI di segenap perangkat serta jajaran di semua tingkatan;
(3)         pelaksanaan tugas penilaian dan pengawasan pelaksanaan kode etik profesi sebagaimana ayat-ayat di atas dilakukan melalui masing-masing DKGI di semua tingkatan organisasi.

Pasal 11
Pertanggung Jawaban
DKGI Pusat bertanggung jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui Kongres dan Konpus PGRI; DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota bertanggung jawab kepada Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota melalui Konprov/Konkerprov dan Konkab/Konkot dan atau Konkerkab/Kot di Provinsi dan atau di Kabupaten/kota.


Pasal 12
Ketentuan Persidangan
DKGI pada waktu melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas penilaian dan pengawasan perlu menyelenggarakan persidangan-persidangan dengan ketentuan sebagai berikut :
(1)         pelaksanaan persidangan DKGI akan dianggap sah apabila dihadiri lebih dari satu per dua dari jumlah anggota;
(2)         waktu dan jumlah persidangan tergantung kebutuhan, dan hasil dari seluruh persidangan akan menjadi laporan pertanggungjawaban satu tahun satu kali dalam forum organisasi yang disebut Konpus, konkerprov dan atau Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun sekali dalam forum Kongres dan atau Konkab/kot PGRI;
(3)         DKGI dalam melaksanakan persidangan harus bersifat tertutup, kecuali apabila dikehendaki lain, dan ditentukan seluruhnya oleh DKGI itu sendiri;
(4)         ketua DKGI menjadi pimpinan sidang, dan apabila berhalangan hadir maka penggantinya adalah wakil ketua, dan apabila masih juga berhalangan maka persidangan sementara ditunda;
(5)         sekretarias bertanggung jawab atas seluruh pencatatan dan pelaporan hasil sidang, apabila sekretaris berhalangan bisa digantikan oleh anggota yang ditunjuk pimpinan sidang yang disepakati anggota yang lainnya.

Pasal 13
Keputusan Persidanganan
(1)         Keputusan diambil atas dasar musyawarah dan mufakat; dan apabila tidak tercapai maka pengambilan keputusan diambil atas dasar perhitungan suara terbanyak.
(2)         Perhitungan suara dilakukan secara bebas dan rahasia dari setiap anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara.
(3)         keputusan yang diambil harus diteruskan ke Pengurus PGRI yang setingkat untuk segera ditindaklanjuti seperlunya.

Pasal 14
Garis Hubungan Kerja
(1)         Garis hubungan kerja antara DKGI pusat dengan Provinsi dan atau Kabupaten/kota adalah bersifat konsultatif, pelaporan maupun pelimpahan wewenang penanganan masalah kasus pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia.
(2)         Garis hubungan kerja DKGI dengan pengurus PB PGRI dan atau Perngurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota didasarkan bahwa DKGI adalah kelengkapan perangkat organisasi otonom yang dibanggakan.
(3)         Keputusan DKGI harus mejadi keputusan Pengurus PGRI, dan Pengurus PGRI harus melaksanakan keputusan DKGI yang setingkat dengan pengurus PGRI.
(4)         Apabila DKGI mengadakan garis hubungan kerja dengan pengurus PGRI yang lebih tinggi tingkatannya maka harus melalui pengurus PGRI yang setingkat dengan DKGI tersebut.

Pasal 15
 Adminstrasi dan Pendanaan
(1)         Administrasi DKGI dikelola oleh sekretaris, dan tatalaksana perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh pengurus PGRI.
(2)         Pengelola sekretariat DKGI harus bertanggung jawab atas jaminan kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan dan yang lainnya.
(3)         Pendanaan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam menjalankan fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab pengurus PGRI.
 


BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan mutu pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional, khususnya program pembangunan pendidikan, dengan jalan :
(1)         meningkatkan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia terhadap seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya serta masyarakat secara umum;
(2)         meningkatkan perilaku guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika guru demi terciptanya proses pengabdian profesi kependidikan yang lebih baik;
(3)         menciptakan suasana masyarakat yang lebih kondusif, sehingga akan lebih menguntungkan dalam proses pengabdian dan penerapan etika guru.

Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka sasaran dari pembinaan dan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai berikut :
(1)         guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan baik;
(2)         terjadinya pemahaman tentang etika guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga kependidikan;
(3)         tumbuhnya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat secara luas akan pengabdian profesi kependidikan dan Kode Etik Guru Indonesia.

Pasal 18
Jenis Kegiatan
(1)         Menganjurkan kepada pemerintah dan swasta penyelenggra pendidikan untuk memasukan materi Kode Etik Guru Indonesia khususnya di lembaga kependidikan.
(2)         Menyelenggarakan berbagai pertemuan profesional secara individual kelompok maupun klasikal dalam membahas dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru.
(3)         Menyebarluaskan informasi secara tertulis melalui majalah suara guru dan yang lainnya tentang Kode Etik Guru Indonesia terhadap calon guru dan guru serta tenaga kependidikan lainnya.
(4)         Menyelenggarakan berbagai kegiatan lainnya yang dinilai tidak mengikat dan dapat mencapai pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di lingkungan kependidikan maupun di pemerintahan dan masyarakat.

Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1)         Kode Etik Guru Indonesia.
(2)         Lapal pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(3)         Hukum, aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan kependidikan.
(4)         Status guru.
(5)         Materi-materi lain yang dapat dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia.


Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1)         Kegiatan pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Guru, dengan jalan bahwa pengurus pusat bertanggung jawab untuk menetapkan garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan (GBPP) untuk dijabarkan dan dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah.
(2)         Dalam melaksanakan pemasyarakatan dan pembinaan seperti ayat satu di atas, maka Dewan Kehormatan Guru dapat bekerja sama dengan pengurus PGRI, mitra pendidikan, dan instansi pemerintah dan kemasyarakatan lainnya, yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus PGRI.

BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK GURU INDONESIA
Pasal 21
T u j u a n
(1)         Memecahkan berbagai masalah pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik berasal dari komponen pemerintah, masyarakat, atau  guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(2)         Menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya sebagai pelaksana pengabdian profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya; serta bagi seluruh komponen masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kependidikan.

Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1)         Menangani berbagai perilaku yang menyimpang dari Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan pengabdian profesi kependidikan.
(2)         Penanganan penyimpangan seperti dimaksud dalam ayat satu di atas baru dapat  dilakukan apabila terjadi pengaduan, ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau DKGI menduga terjadi adanya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia.


Pasal 23
Proses Pengaduan
(1)         Para pihak yang menemukan terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia dapat mengajukan melalui surat pengaduan kepada DKGI tempat terjadinya masalah tersebut.
(2)         Apabila di daerah kejadian tersebut belum ada DKGI Kab/Kot maka surat pengaduan diajuakan ke DKGI Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka bisa diajuka ke DKGI pusat.
(3)         Surat pengajuan pengaduan dianggap sah apabila diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan berbagai identitas pengaduan yang diajukan dan bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang terhadap pengaduan yang diajukan tersebut.
(4)         Surat pengajuan pengaduan dianggap tidak sah apabila diajukan tidak dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang cukup, dan identitas yang selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian tersebut sudah melewati waktu dua setengah tahun atau  lebih.
(5)         Apabila surat pengaduan pertama kali bukan diterima oleh pengurus DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/kota, maka paling lambat dua minggu setelah diterimanya surat pengaduan tersebut harus segera diteruskan kepada DKGI Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian tersebut diajukan.
(6)         Apabila DKGI dimana terjadinya kejadian pengajuan belum terbentuk, maka surat pengaduan sebagaimana ayat 5 di atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI Provinsi yang belum terbentuk, maka pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI pusat.


Pasal 24
Pengkajian
(1)         Setiap pengajuan yang diajukan karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia harus dikaji terlebih dahulu secara berhati-hati dan seksama dengan prinsip penanganan berdasarkan asas praduga tak bersalah.
(2)         Kegiatan pengkajian sebagaimana ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi tugas dan wewenang pengurus DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut :
a.   mempelajari identitas pengaduan yang diajukan;
b.   mempelajari berkas-berkas sebagai bukti tertulis yang diajukan;
c.    mengambil kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut;
d.   Mempelajari masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara :
1)        mengundang pengadu dan yang diadukan secara terpisah untuk sama-sama melengkapi dan memberi penjelasan tentang duduk permasalahan sebenarnya;
2)        mengundang saksi dari para pihak secara terpisah apabila ada dan diajukan untuk sama-sama meminta informasi dalam memperjelas masalah yang diajukan;
3)        melakukan kunjungan ke tempat terjadinya kejadian untuk memperoleh keterangan yang lebih jelas dan akurat, ataupun hubungannya dengan benda-benda atau barang-barang bukti yang sifatnya tidak bisa dipindahkan; dan
4)        apabila diperlukan maka diperbolehkan mengundang pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan masalah yang diajukan untuk dijadikan saksi ahli;
e.   melakukan sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan sidang–sidang selanjutnya.

Pasal 25
Barang Bukti
(1)         Pada waktu pemanggilan saksi dan kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian, maka pada waktu itu pula dapat dimintakan untuk memperlihatkan berbagai barang bukti, dan  jika diperlukan diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan atau  gambar.
(2)         Apabila pengadu dan teradu serta saksi menolak memperlihatkan barang bukti dan pengambilan suara dan gambar sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal ini dapat dicatat untuk dijadikan bahan pertimbangan pada waktu pengambilan keputusan.
(3)         DKGI tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap barang-barang bukti yang diajukan melainkan bisa melalui pihak–pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1)         Pada waktu proses pengkajian dan sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
(2)         Yang dimaksud pembela adalah Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI.
(3)         Hak yang dimiliki tersebut harus terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai.
(4)         mengingat sifat kejadian yang ditangani menyangkut etika guru sangat khusus dan lebih pelik, maka dibenarkan dan berhak untuk didampingi pembela dari luar dapat dipertimbangkan, apabila yang dimintakan teradu adalah pembela berasal dari luar LKBH PGRI.

Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1)         Apabila dalam penanganan kejadian pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud diperlukan adanya saksi ahli, maka dapat dimintai kehadirannya dalam setiap sidang dalam forum DKGI.
(2)         Penunjuk saksi ahli menjadi wewenang sepenuhnya dari DKGI.
(3)         Saksi ahli tahap pertama harus diambil dari lingkungan organisasi PGRI beserta seluruh kelengkapan perangkat organisasi, namun apabila tidak ada maka dapat diminta di luar organisasi PGRI.

Pasal 28
Kegiatan Persidangan
(1)         Tata cara persidangan DKGI di daerah harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini akan diminta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2)         Apabila teradu menginginkan bantuan dan memanfaatkan jasa dari LKBH PGRI maka LKBH PGRI tersebut harus memberitahukan kepada LKBH PGRI Propvinsi dan LKBH PGRI Pusat.
(3)         Apabila pengkajian telah selesai dilakukan maka sebelum diambil keputusan hendaknya LKBH PGRI diberikan kesempatan mengemukakan pendapatnya tentang kejadian yang sedang di kaji.

Pasal 29
Pengambilan Keputusan
(1)         Tata cara pengambilan keputusan dalam sidang-sidang DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/Kota harus sesuai dengan yang ditentukan DKGI pusat; (ketentuan hal ini akan minta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2)         Keputusan yang diambil oleh DKGI dalam penanganan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia harus menyatakan dengan jelas bersalah atau tidak bersalah bagi teradu.
(3)         keputusan sebagaimana ayat dua di atas harus dibedakan antara kesalahan ringan, sedang, dan berat.
(4)         Penetapan kategori kesalahan hendaknya didasarkan kepada kriteria sebagai berikut :
a.       akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi; keselamatan guru dan tenaga kependidikan lainnya;
b.      itikad yang ditunjukan cukup baik pihak teradu dalam membantu menyelesaikan persoalan dimaksud; serta dorongan yang mendasari tumbuhnya kejadian yang bisa dipertimbangkan;
c.       kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuhnya kejadian; serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI;
(5)         Apabila kejadian yang dimaksud menyangkut pelanggaran hukum dan masalah tersebut sedang dalam proses hukum, maka hendaknya keputusan DKGI ditunda sampai dengan keputusan hukum tersebut.
(6)         DKGI harus mampu mencegah tumbuhnya proses hukum di pengadilan dengan upaya persidangan di DKGI tersebut.

Pasal 30
Pemberian Sanksi
(1)         DKGI merekomendasikan pemberian sanksi kepada badan pimpinan organisasi PGRI yang setingkat dengan DKGI dan diteruskan kepada PB PGRI untuk disampaikan kepada instansi pemerintah dan penyelenggara pendidikan yang terkait.
(2)         Dalam hal sanksi yang langsung berhubungan dengan keanggotaan pada PGRI, maka PB PGRI dapat mencabut keanggotaan guru atau tenaga kependidikan tersebut bila DKGI memutuskan demikian.
(3)         Sanksi yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pihak tertentu.
(4)         Sanksi yang diberikan bisa berupa : (1) teguran; (2) peringatan tertulis; (3) penundaan pemberian hak; (4) penurunan pangkat; dan (5) pemberhentian dengan hormat; atau (6) pemberhentian tidak dengan hormat.
(5)         Kalau keputusan oleh Instansi terkait berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat maksudnya adalah dalam waktu sementara melalui waktu yang telah ditentukan, dan pada masa ini diadakannya pembinaan dari pihak DKGI.
(6)         Apabila selama waktu pemberhentain sementara, tidak terjadi perbaikan-perbaikan, maka akan ditetapkan pemecatan dan pemberhentian dari anggota/pengurus PGRI, yang diikuti dengan penyampaian rekomendasi kepada Instansi Departemen Pendidikan Nasional untuk diadakan tindakan seperlunya.
(7)         Keputusan tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan kepada pengurus PGRI/DKGI PGRI Provinsi maupun PB PGRI.

Pasal 31
Banding
(1)         Apabila kedua belah pihak antara pengadu dan teradu merasa tidak puas atas keputusan yang telah ditetapkan DKGI, maka keduanya bisa menyatakan untuk mengajukan naik banding.
(2)         Naik banding sebagaimana ayat satu di atas merupakan tahap awal yang harus ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitu pula selanjutnya bisa naik banding tahap yang kedua yang ditujukan ke tingkat DKGI Pusat.
(3)         Tata cara pengakajian dan pengambilan keputusan pada pelaksanaan sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota dengan di pusat.
(4)         keputusan yang diambil DKGI Pusat pada dasarnya merupakan keputusan final dan mengikat yang tidak bisa diganggu gugat, kecuali datangnya keputusan lain melalui Kongres PGRI.
Pasal 32
Perbaikan dan Pemulihan
(1)         Perbaikan dan pemulihan akan dilakukan apabila ternyata penerima sanksi dinyatakan tidak bersalah; atau telah menjalani sanksinya sesuai keputusan DKGI.
(2)         Bagi pihak penerima sanksi sebagaimana ayat 1 (satu) di atas akan segera dikeluarkan perbaikan dan pemulihan yang disertai permintaan maaf kepada penerima sanksi tersebut.
(3)         Surat perbaikan dan pemulihan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas disampaikan kepada penerima sanksi, instansi tempat bekerja, serta kepada masyarakat secara umum.
(4)         Penerbitan surat keputusan perbaikan dan pemulihan dilakukan oleh Pengurus PGRI dimana masalah tersebut ditangani dengan tembusan kepada pengurus PGRI yang lebih tinggi dan yang dibawahnya termasuk pula kepada DKGI yang bersangkutan.

Pasal 33
Administrasi
(1)         Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu diperlakukan sebagai surat rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan.
(2)         Pemanggilan terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan secara tertulis dan paling banyak 3 kali pemanggilan.
(3)         Apabila pemanggilan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas ada yang tidak datang dan tanpa alasan yang sah, maka penanganan masalah tersebut harus dilanjutkan tanpa kehadirannya.
(4)         Dalam hal minta keterangan terhadap pengadu, teradu, dan saksi oleh DKGI tidak diawali dengan pengambilan sumpah, akan tetapi hanya dengan surat pernyataan.
(5)         Surat dimaksudkan secara tertulis yang dibuat dan ditandatangani di atas materai yang cukup di depan DKGI yang berisi bahwa keterangan yang akan diberikan adalah benar.
(6)         Apabila pihak-pihak tersebut sebagaimana ayat 4 (empat) di atas tidak bersedia atau menolak membuat atau menandatangani surat dimaksud, maka akan menjadi catatan khusus sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan.
(7)         Semua keterangan, barang bukti dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan didokumentasikan secara lengkap dan sempurna serta menjadi milik PGRI. Data-data tersebut sangat tidak dibenarkan untuk diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain, kecuali dinyatakan lain oleh ketentuan perundang-undangan dan diminta oleh Negara.


BAB V
PENUTUP
Pasal 34
Penutup
Hal-hal lain yang belum diatur dalam ketentuan ini akan diatur tersendiri oleh DKGI.

----------------------------oOo--------------------------

EI dan Jaringan Internasional


Organisasi Serikat Pekerja di seluruh dunia pada era sebelum tahun 1990-an yang terbilang besar dan memiliki pengaruh secara global antara lain FESE yakni Serikat pekerja guru di negara-negara komunis, WCOTP : World Confederation of the Teaching Profession, IFFTU : International Federation of Free Teachers Union dan WCT : World Confederation of Teachers (Organisasi Guru – guru Kristen). Tahun 1993 WCOTP dan IFFTU menggabungkan diri (merger) dan mendeklarasikan dirinya dengan Education International (EI).

Keanggotaan EI hingga saat ini sekitar 30 juta Orang Guru dan Pekerja Pendidikan dari tingkat Pra-Sekolah sampai Perguruan Tinggi yang tergabung dalam 352 organisasi guru di 171 negara di 5 kawasan di seluruh dunia. Wilayah Kerja EI berada di lima benua yakni
Eropa, berkantor pusat di Brussels, Belgia, Amerika Utara & Karibia di San Jose, Costa Rica, Amerika Latin di Santa Lucia, Afrika di Lome, Togo dan Asia Pasifik berkantor pusat di Kuala Lumpur, Malaysia.

TUJUAN UTAMA pendirian EI adalah Meningkatkan kualitas pendidikan dan Mempromosikan status & kesejahteraan guru. Sementara Program-program kerja EI antara lain Pembangunan Kapasitas, Penghapusan Pekerja Anak, Pendidikan Untuk Semua, Pemberdayaan Perempuan, Pencegahan HIV/AIDS, Bantuan Kemanusiaan bagi para korban Peperangan dan Bencana Alam dan memberantas Terorisme. Selain Program EI juga Mempromosikan: Perdamaian, Demokrasi, Persamaan Hak, Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Gender, Hak Guru, Hak Anak, Anti Diskriminasi, Menghapus Pekerja anak dan Pendidikan Untuk Semua. EI melaksanakan KONFERENSI REGIONAL setiap 3 tahun sekali dengan agenda Pemilihan Pengurus Tingkat Regional dan Menyusun Kebijakan dan Program Kerja.

Di Indonesia Konfederasi Serikat Pekerja yang ada dan diakui legalitasnya di Indonesia KSPSI : Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSPI : Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, KSBSI : Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Dari ketiga Konfederasi Serikat Pekerja ini, PGRI sejak tahun 2003 berafiliasi dalam KSPI. KSPI sendiri merupakan salah satu Konfederasi Serikat Pekerja yang berafiliasi dengan ICTU yakni : International Trade Union Congress bersama dengan ACTU Australia dan MTUC Malaysia. (AM)
Sumber
http://gemapgrinews.blogspot.com/2009/08/ei-dan-jaringan-internasional.html

PGRI Sebagai Serikat Pekerja, Dulu-kini dan masa Mendatang


Seminar yang disponsori PB PGRI – EDUCATION INTERNATIONAL ( EI) – CONSORTIUM PROJECT yang berlangsung di Hotel Mutiara Kota Gorontalo dari 07-09 Agustus 2009 memberikan banyak informasi dan pengetahuan yang sangat penting bagi peserta terkait keberadaan organisasi PGRI selama ini. Berikut rangkuman materi yang terungkap dalam seminar kali ini yang dipaparkan oleh para nara sumber masing-masing Ketua PB PGRI Drs.H. Sugito, M.Si dan Koordinator EI wilayah Asia Pasifik Chusnul Safitri :


Empat Periode Peranan PGRI Dibidang Ketenagakerjaan Periode 1945 – 1962
• RH Koesnan, Ketua Umum PB PGRI, Diangkat menjadi Menteri Perburuhan dan Sosial RI dalam kabinet
Hatta. Hasilnya a.l. : keluarnya PGP 1947/1948 tentang Peraturan Gaji Pegawai. à INTInya: Ijazah yang setara SMP=SGB, SNA=SGA, SM=B1, Sarjana=B2. Kalau menjadi
guru, ijazah SGB/SGA,B1/B2 pangkatnya
setingkat lebih tinggi dari ijazah SMP/SMA/ SM/Sarjana. SMP = IIIA, SGB/KGB = IIIA/b, SMA = IV/a, SGA/KGA = IV/b, SM = V/a, B1 = V/b, Sarjana = VI/a, B2 = VI/b
• Soedjono, Ketua Umum PB PGRI, Menghasilkan konsep PGRI tentang pendidikan nasional. Untuk mengatasi kekurangan guru: à Kursus Guru Tjepat (KGTJ) dijadikan SGB/KGB, KPKPKB dijadikan SGB berasrama, SGA berasrama

• ME Subiadinata, Ketua Umum PB PGRI Tahun 1968 diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Pegawai (KUP), sekarang BKN/BAKN. PGRI membentuk Rukun Kerja Sama (RKS) Pegawai Negeri untuk perbaikan nasib.

Periode 1962 – 1970
PGRI mendirikan PSPN (Persatuan Serikat Pekerja Pegawai Negeri), a.l PGRI, PERSAJA (Persatuan Djaksa), PERSAHI (Persatuan Hakim Indonesia), SSKDN (Serikat Sekerja Kementerian Dalam Negeri), PBKA (Persatuan Buruh Kereta Api), PPPRI (Persatuan Pegawai Polisi RI), PBPTT (Persatuan Buruh Pos Telepon Telegraf) dsb. PSPN didirikan untuk menghadapi tekanan/serangan PKI (Partai Komunis) melalui SOBSI/PKI terhadap Serikat Pekerja Non Komunis. PSPN akhirnya bergabung menjadi KSBM (Kerja Sama Buruh Militer). KSBM adalah cikal bakal Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) 1964.

Tahun 1966 PGRI menjadi anggota WCOTP (World Confederation of Teaching Profesion) dalam WCOTP World Congress di Seoul, Korea Selatan (Subiadinata, Slamet I)

• Tanggal 5 Oktober 1966 Konvensi ILO/UNESCO di Paris menghasilkan Status of Teachers (Status Guru Dunia). Pemerintah RI dan PGRI (HM Hidajat dan Ir. GB Dharmasetia) hadir dan menandatangani konvensi ILO/Unesco tersebut.

• Tahun 1966 PGRI mendirikan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia) terdiri dari PGRI, IGM (Muhammadiyah), PG Perti, Pergunu, PGII, Pergukri, PGK (Katolik) dan PGM (Marhaenis) à Tokoh-tokoh KAGI: ME Subiadinata, Rusli Yunus, Drs. WDF Rindorindo (Ketua-ketua Periodik), Drs. Estiko Suparjono, T. Simbolon, FX Pasaribu (sekjen/Wakil Sekjen), Harkam Effendi, Nurimansyah Hasibuan, Effendi Sudijawinata, Abdullah Latif dsb. à Tahun 1967 dlm Kongres PGRI XII di Bandung KAGI meleburkan diri ke dalam PGRI (unitaristik, independen, dan non parpol), artinya menanggalkan baju parpol, hanya bicara guru dalam PGRI.

PERIODE 1970 – 1998

· Tahun 1970 PGRI diundang ke Head Quarters IFFTU (International Federation of Free Teachers Union) di Brussel, diwakili oleh Rusli Yunus.

· Tahun 1969 PGRI memprakarsai berdirinya MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia), ME Subiadinata, M.Hatta, Rusli Yunus.

· Tahun 1970 MPBI menjadi FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia),
· à PGRI terpaksa keluar dari FBSI karena Kongres PGRI ke XIII di Bandung melarang PGRI ikut serikat buruh, hanya boleh profesi saja.

Gigi pada lambang PGRI dicopot/dibuang H. Basyuni Suryamiharja, Ketua Umum PB PGRI, telah berhasil Menyelamatkan PGRI untuk tidak dibubarkan, mengikuti keputusan pemerintah dengan meninggalkan serikat pekerja/perburuhan. Mendirikan Gedung Guru Indonesia (GGI) di Jakarta. Tahun 1979 menyelenggarakan World WCOTP Congress di Jakarta. Memprakarsai berdirinya ASEAN Council of Teachers (ACT) tahun 1974. PGRI memprakarsai Pertemuan Guru-guru Nusantara (PGN) 1983 di Singapura (Prof. Gazali Dunia dan Rusli Yunus). Tahun 1993 di Stockholm terjadi merger/penyatuan WCOTP dan IFFTU menjadi Educational International (EI). à Berarti organisasi guru se dunia mengikuti pola PGRI (profesi dan ketenagakerjaan), à PGRI (H. Basyuni Suriamiharja) ikut menandatangani penggabungan organisasi tersebut menjadi EI.

PERIODE 1998 – SEKARANG
• Tahun 1998 Kongres PGRI XVIII di Lembang: Prof.Dr. HM Surya, Ketua Umum PB PGRI, Drs. H. Sulaiman SB Ismaya, Sekretaris Jenderal. Kongres menghasilkan antara lain:
a. PGRI keluar dari Golkar
b. PGRI menyatakan diri kembali sebagai organisasi perjuangan (cita-cita proklamasi kemerdekaan dan kesetiaan PGRI hanya kepada bangsa dan NKRI), organisasi profesi (meningkatkan kualitas pendidikan) dan organisasi ketenagakerjaan (kembali sebagai Serikat Pekerja Guru/Teachers Union

• Tahun 2003 (1 Februari) PGRI bersama-sama 13 SP/SB yang independen non parpol, berwawasan kebangsaan membentuk KSPI (Kongres Serikat Pekerja Indonesia). Anggota Dewan Nasional KSPI, Harfini Suhardi dan Sanuri Almariz. Sekjen Dewan Eksekutif Nasional (DEN) KSPI: Drs. WDF Rindorindo Tahun 2003 Kongres XIX PGRI di Semarang: Prof. Dr. HM Surya, Ketua Umum dan Koesrin Wardojo, SH, SIP, Sekretaris Jenderal PB PGRI.

• Tahun 2004 Sekretaris Jenderal KSPI: Rusli Yunus
• Tahun 2005 audiensi PB PGRI dengan Menakertrans (Fahmi Idris):

1. Mengklarifikasi UU No.21/2000 tentang SP/SB khususnya Pasal 48:
a. PNS berhak menjadi anggota SP/SB
b. Akan diatur dalam suatu Undang-Undang

2. Pernyataan Menakertrans RI:
a. Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 dengan Keppres No. 83 Tahun 1998.
b. PGRI jalan terus sebagai Serikat Pekerja Guru Modern
c. Setiap orang tidak boleh menjadi anggota dua SP dan SB. Karena itu PGRI yang PNS tinggal memilih menjadi anggota PGRI atau anggota KORPRI. (Konvensi ILO No.87, keanggotaan SP/SB harus sukarela dan tidak boleh dipaksa, sesuai dengan HAM, SP/SB harus dibentuk secara demokratis)
3. Menakertrans meminta PGRI dan ILO Indonesia serta Depnakertrans melaksanakan seminar nasional tentang konvensi ILO nomor 87 dan Keppres No. 83 Tahun 1998.
4. Menakertrans memberi kesempatan kepada PGRI tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kota mendaftarkan kembali PGRI sebagai SP pada Disnaker provinsi dan Kabupaten/Kota

Tinjauan Ke Depan
Sejak 2001 PGRI bekerjasama dengan EI Asia Pasifik membentuk PGRI-EI Consortium Project untuk seminar, workshop dan pelatihan pimpinan PGRI dari pusat, provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.
à Tahun 2001 PB PGRI dan Ketua provinsi se Jawa melaksanakan Workshop EI di Anyer Jawa Barat.
à Tahun 2003 menjadi 11 provinsi
à Tahun 2004 menjadi 19 provinsi
à Tahun 2005 menjadi 22 provinsi
• Penanggung jawab nasional Prof.Dr. HM Surya,Ketua Umum PB PGRI, sedangkan National Coordinator PGRI-EI Consortium Project:
à Tahun 2002 – 203, Drs. WDF Rindorindo
à Tahun 2004 – sekarang, HM Rusli Yunus.
à Tahun 2006 Koordinator Nasional (HM Rusli Yunus) didampingi Koordinator Pelaksana (Ir. Abdul Azis Hoesein, MEngSc
• Consortium (negara donor): Norwegia, Swedia, Amerika Serikat, Jepang dan Australia.
• Tahun 2004 aktif membantu Public Service International (PSI, Persatuan Pegawai Negeri se Dunia)
• Tahun 2006 kegiatan proyek PGRI-EI Consortium ini meliputi 23 provinsi dari 31 yang direncanakan.


PRINSIP-PRINSIP SERIKAT PEKERJA: SOLIDARITAS, DEMOKRATIS, KESATUAN, TANGGUNG JAWAB DAN KESETARAAN.
Sumber
http://gemapgrinews.blogspot.com/2009/08/pgri-sebagai-serikat-pekerja-dulu-kini.html

RECENT POST

Blogger Widget Get This Widget